Wednesday, August 1, 2007

SOSOK ITU BERNAMA ANDRE


Tadi malam saya membuka album-album foto saya, dan pandangan saya tertumbuk pada selembar foto berlatar belakang laut, terlihat empat orang sosok yang sedang tersenyum didalamnya. Dua diantaranya adalah saya dan seorang akhwat teman saya. Namun bukan hanya sekedar keberadaan foto itu saja yang mengusik pikiran saya, tetapi melihat salah satu sosok yang lain di foto itu membuat saya kembali teringat pada kenangan satu tahun yang lalu.


Saat itu saya merasa sekitar saya begitu “crowded”, apakah di kampus, di KAMMI, maupun ditempat kost. Biasanya saya akan menenangkan diri dengan berjalan-jalan sendirian kemanapun yang saya suka, mengunjungi teman-teman lama, dan mengunjungi tempat-tempat yang tidak pernah saya kunjungi. Dan pada hari itu saya memilih untuk berjalan-jalan sendirian ke tepi pantai padang, berusaha untuk kembali mentafakuri nikmat Allah SWT, meskipun sederhana.


Ketika saya sedang duduk dipinggir pantai, terdengar suara gen’jreng’an gitar parau dibelakang saya. Ternyata yang memainkan adalah seorang anak jalanan. Yang setelah kami berkenalan ternyata dia bernama Andre, seorang anak kelas 5 SD dan tinggal di ujung pantai tersebut. Pada akhirnya dia tidak hanya menyanyi di depan saya tetapi juga menghibur saya dengan cerita-cerita kehidupan pribadinya.


Seperti umumnya anak jalanan di kota padang ini, Andre pun masih tinggal bersama orangtua, hanya saja dengan latar belakang keluarga yang “broken home”. Setiap harinya setelah pulang sekolah dia akan ke jalanan sebagai pengamen dengan tujuan untuk mendapatkan uang, orangtuanya memang mendorongnya untuk ke jalanan mencari uang dengan cara seperti itu yang pada akhirnya nanti akan disetorkan kepada orangtuanya dan sebesar tiga ribu rupiah akan diberikan kepadanya setiap harinya, itu juga apabila ‘pekerjaan’nya menghasilkan. Kesan yang saya tangkap saat itu, orangtuanya berlepas tangan dari segala resiko yang bisa saja menimpa anaknya di jalanan.


Saya sendiri akhirnya menikmati sekali perkenalan dengan pria kecil itu, dibalik sikap dewasa yang ditunjukkannya meski tidak sesuai dengan usianya, namun tampak kepolosan tersembunyi, dan tidak dapat dipungkiri dia masih sangat menginginkan bagaimana rasanya bermain dan belajar lepas tanpa adanya tuntutan, yang sebenarnya sudah menjadi haknya. Saat itulah saya merasakan bahwa segala permasalahan-permasalahan saya yang awalnya terasa sangat berat namun menjadi ringan setelah saya mendengar bagaimana kerasnya kehidupan seorang anak bernama Andre. Membuat saya jadi teringat tentang tulisan yang ditujukan seorang sahabat kepada saya tentang bagaimana sebuah persoalan akan terasa ringan apabila kita mendengarkan dan berusaha memecahkan persoalan orang lain.


Selama beberapa hari saya selalu bertemu dia di tempat yang sama, kembali mendengarkan pengalamannya, bermain, ataupun mengajarkan dia lagu-lagu sebagai stock ngamen. Namun disayangkan ketika suatu hari kami berjanji untuk bertemu kembali, ternyata mendadak selama dua minggu penuh saya disibukkan dengan beberapa agenda penting, sehingga saya tidak bisa memenuhi janji saya.

Ketika saya kembali lagi ke tempat itu saya tidak pernah lagi menemukan sosok kecil itu, bahkan hingga saat ini. Sosok yang buat saya telah mengajarkan bagaimana menghargai kehidupan ditengah segala permasalahan dan keterbatasan.

Jazakallah ya ndre…tuk segala hikmah yang didapat

Ditengah bisingnya klakson bus kota, 1 Agustus 2007

RUANG TIGA KALI TIGA

Terkadang bagi mahasiswa tempat kost hanya dijadikan sebagai tempat pulang setelah usai kuliah di kampus atau tempat meletakkan barang-barang pribadi, karena notabene anak kost merupakan anak-anak perantauan atau jauh dari orangtua, apakah di dalam ataupun diluar provinsi tempatnya kuliah. Bahkan untuk seorang aktivis sekalipun bisa jadi memfungsikan kamar kost hanya sebagai tempat melepas lelah setelah seharian beraktivitas.

Namun berbeda halnya dengan saya saat mendeskripsikan fungsi tempat kost. Bagi saya sendiri tempat kost atau kamar kost dikhususkan sebagai ruang privacy, menjadi tempat untuk berkreativitas selain dari fungsi-fungsi yang saya sebutkan diatas. Mengapa demikian? Karena di ruangan yang berukuran 3 x 3 itulah saya bisa leluasa dan bebas untuk berkreativitas. Tidak perduli apakah banyak buku-buku, atau perkakas keterampilan berserakan hingga ke segala sudut kamar asalkan saya bisa leluasa bergerak dan menemukan segala sesuatu yang saya butuhkan dengan mudah sehingga kita bisa optimal untuk menghasilkan karya.

Banyak kretivitas yang bisa kita lakukan saat berada di “ruang 3x 3’ kita, apakah menulis, membuat gambar-gambar atau mendesign sesuatu yang kita sukai, atau membuat kerajinan tangan yang bisa dipasarkan untuk menambah uang saku kita.

Saya pernah mencermati umumnya apakah dia pelukis, ataupun juga penulis novel menjadikan kamarnya sebagai “ruang gerak” pribadi. Bahkan tidak jarang juga yang mendapatkan inspirasi untuk karya-karyanya di dalam kamar, walaupun inspirasi bisa saja didapatkan dimanapun dan kapanpun waktunya. Terkadang tanpa kita sangka-sangka sebuah karya besar bisa lahir dari ruangan sempit tersebut.

Lantas, akan timbul berbagai pertanyaan di benak kita, bagaimana dengan teman sekamar kita? Di sinilah letak bagaimana pola komunikasi kita dengan teman sekamar dikost dibangun, akan beruntung bagi yang menyewa kamar untuk sendiri tapi bagaimana dengan yang berbagi kamar dengan satu atau beberapa orang. Segala sesuatunya terletak pada bagaimana kita menyampaikan keinginan kita pada teman kita, apabila sang teman tidak menyukai kondisi kamar yang berantakan, kita tidak bisa juga memaksakan kehendak kita untuk membiarkan barang-barang berserakan, dan bagi kita yang kebetulan memiliki teman yang “ridho” dengan kondisi kamar yang bagaimanapun, kita juga tetap harus bertanggung jawab untuk menjaga kerapihan kamar. Sekelumit persoalan bisa saja muncul apabila kita bersikap acuh untuk pemasalahan-permasalahan yang kita anggap kecil atau sepele.

Jadi, bagi kita yang masih merasakan menjadi anak kost, bersiap-siaplah untuk mengoptimalkan fungsi kamar kost kita lebih dari yang biasanya.

Pasar Baru , 1 Agustus 2007


Self Esteem, Self Confidence, Pride

Nasihat dari seorang teman yang diposting ke e-mail saya :
Dua orang lelaki yang datang bertamu ke rumah seorang bijak tertegun keheranan. Mereka melihat si orang bijak sedang bekerja keras. Ia mengangkut air dalam ember kemudian menyikat lantai rumahnya. Keringatnya deras bercucuran. Menyaksikan keganjilan ini salah seorang lelaki ini bertanya, "Apakah yang sedang engkau lakukan hai orang bijak?
"Orang bijak menjawab, "Tadi aku kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat kepadaku. Aku memberikan banyak nasihat yang sangat bermanfaat bagi mereka. Merekapun tampak puas dan bahagia mendengar semua perkataanku. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba aku merasa menjadi orang yang hebat. Kesombonganku mulai bermunculan. Karena itu, aku melakukan pekerjaan ini untuk membunuh perasaan sombongku itu."
Para pembaca yang budiman, sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua yang benih-benihnya sering muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong sering disebabkan karena faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih cantik, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong sering disebabkan faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, lebih bijaksana dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong sering disebabkan faktor kebaikan. Kita seringkali menganggap diri kita lebih berakhlak, lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan ini, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi akan sangat mudah terlihat tetapi sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih yang halus di dalam hati kita.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Pada tataran yang wajar, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Namun, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Bahkan, seringkali batas antara bangga dan sombong tak terlalu jelas.
Diri kita sebenarnya terdiri atas dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan diri sejati di lain kutub. Pada saat dilahirkan ke dunia, kita sepenuhnya berada dalam kutub diri sejati, kita lahir dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Kita sama sekali bebas dari materi apapun. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai memiliki berbagai kebutuhan materi. Bahkan, lebih dari sekedar yang kita butuhkan dalam hidup, kelima indra kita selalu mengatakan bahwa kita membutuhkan yang lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup seringkali mengantarkan kita menuju kutub ego. Perjalanan inilah yang memperkenalkan kita kepada kesombongan, kerakusan, serta iri dan dengki. Ketiga sifat ini adalah akar segala permasalahan yang terjadi dalam sejarah umat manusia.
Perjuangan melawan kesombongan sebenarnya adalah perjuangan menarik diri kita ke kutub diri sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya ada dua perubahan paradigma yang perlu Anda lakukan. Pertama, Anda perlu menyadari bahwa hakikat manusia adalah diri sejati, kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual.
Diri sejati kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah syarat kita untuk hidup di dunia. Kita lahir tanpa membawa apa-apa, dan kita mati pun tanpa membawa apa-apa. Pandangan seperti ini akan membuat Anda melihat siapapun sebagai manusia yang sama. Anda tidak akan lagi tertipu oleh penampilan, kecantikan, dan segala "tampak luar" yang lain. Yang kini Anda lihat adalah "tampak dalam." Pandangan seperti ini sudah pasti akan menjauhkan Anda dari berbagai kesombongan.
Kedua, Anda perlu menyadari bahwa apapun perbuatan baik yang Anda lakukan, semuanya itu semata-mata adalah untuk diri Anda sendiri. Anda menolong orang untuk kebaikan Anda sendiri. Anda memberikan sesuatu kepada orang lain adalah untuk Anda sendiri.
Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi: Energi yang Anda berikan kepada dunia tak akan pernah hilang. Energi itu akan kembali kepada Anda dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang Anda lakukan pasti akan kembali kepada Anda dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, perasaan bermakna maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik pada orang lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apalagi yang harus kita sombongkan?[]