Sunday, December 2, 2007

Sepotong Kisah dari Sudut Ibukota

Oleh Sabrul Jamil

Hari itu adalah hari yang sama seperti pekan-pekan lalu. Aku berjalan sendirian, tanpa tergesa, menuju ke Musholla kecil yang disulap menjadi Masjid jami’, tempat sholat jum’at diselenggarakan. Aku berjalan di trotoar, sambil mengamati kegiatan di sekelilingku.

Daerah ini hanyalah sepotong ruas jalan yang tak berbeda dari ruas-ruas jalan lainnya di Ibu Kota. Ruas-ruas jalan yang menyimpan banyak paradoks. Di pinggir-pinggir jalan berjejer gedung-gedung jangkung, ruko-ruko, show room (yang jejeran mobil di dalamnya membuat nafasku tertahan. Betapa tidak, mobil sekelas Innova pun jadi terlihat sederhana di dalam show room tersebut). Namun jika kita melongok sedikit saja ke balik gedung-gedung yang rajin bersolek tersebut, kita akan menemukan wajah lain ibu kota. Wajah gang-gang kecil yang kumuh, rumah yang berdesak-desakan, got-got yang menghitam, dan serombongan anak kecil berseragam merah putih yang berlari-larian, tetap ceria dengan segala kesumpekan itu.

Aku pun melewati jembatan, yang air di bawahnya mengingatkanku pada jamu paitan yang hitam pekam. Bahkan ikan cere kecil yang tahan banting itu mungkin tak akan bisa bertahan hidup di sana.

Namun tiba-tiba pandanganku terhenti. Ada seorang ibu menyelinap di sela-sela pagar pembatas kali, dengan kopi mengepul-ngepul di tangan kanannya, dan sabun cuci di tangan kirinya. Dengan hati-hati ia bergerak menuruni lereng kali, menuju ke kolong jembatan. Barulah aku menyadari bahwa sebenarnya memang ada kehidupan di kolong jembatan yang gelap itu. Ada beberapa baju dijemur di kolong sana.

Untuk siapa kopi yang diantar ibu tadi? Untuk suaminya kah? Dan sabun itu, untuk mencuci pakaian siapakah? Pakaian ibu tadi, dan suami serta anak-anaknya? Anak-anak? Adakah anak-anak yang tinggal di kolong jembatan yang terlihat seram itu?

Usai melewati jembatan, ada sepotong taman kota yang terhampar. Pasti Pemda DKI berniat memberikan layanan berupa paru-paru kota, agar penduduk DKI tidak terlalu pengap dan mengurangi racun yang setiap hari mereka hirup dari asap-asap knalpot yang tak pernah berhenti berhembus di jalan-jalan.

Namun taman ini seperti tertular kesuraman di kolong jembatan tadi. Tak ada keindahan dan nihil kebersihan. Pohon-pohon di sana seperti menyesal telah ditanam di lokasi itu. Taman itu kotor. Beberapa orang duduk-duduk dan tidur-tiduran di bangku yang tersedia. Mereka adalah gelandangan, para kuli penggali jalan (terlihat dari perlengkapan kerja mereka, berupa pacul dan pengki), dan orang-orang bertampang kumuh yang tak teridentifikasi profesinya. Di sudut taman yang agak terpisah, tampak tukang-tukang ojeg yang duduk melamun menunggu penumpang.

Namun, tak jauh dari taman yang menyedihkan tadi, berjejeranlah di pinggir-pinggir gang beraneka tukang jajanan. Tukang gado-gado, soto mie, tongseng, tukang buah, dan lain-lain. Pelanggan mereka adalah orang-orang kantoran, yang selalu berbaju rapi, kadang berdasi, dan terlihat santai saja makan di pinggir jalan mengisi perut mereka yang kosong di tengah hari itu.

* * * * *

Malam hari, dalam perjalanan pulang, kutemukan lagi paradoks lain. Terhenti oleh lampu merah, mataku menatap ke sekeliling. Beraneka restoran mewah mengepungku. Mobil-mobil mulus nan mengkilap memantulkan lampu-lampu jalan berjejer anggun di pelataran parkirnya.

Tepat di bawah lampu merah, dua orang anak usia SD (mungkin kakak beradik?) bercanda riang, seolah mereka tengah bermain di tempat wisata yang ceria. Di tangan mereka ada kecrekan, peralatan standar untuk mengamen. Tak hirau dengan kemacetan lalu lintas, tak khawatir tersenggol mobil mewah. Saat itu sudah lewat jam sembilan malam. Apakah mereka tak pulang? Jika pulang, ke manakah? Apakah orang tua mereka tidak khawatir dan mencari? Anak-anakku saat ini pasti sudah tertidur lelap, setelah sebelumnya minum segelas susu hangat, dan mendengarkan cerita dongeng sebelum tidur.

Apakah anak-anak jalanan ini masih punya cita-cita? Masih beranikah mereka bermimpi? Atau mimpi mereka sudah mati, lemas tercekik oleh debu dan polusi jalanan?
Apa yang terlintas dalam pikiran bapak yang mengendarai mobil mewah di sebelah sana? Adakah ia menyimpan keprihatinan yang sama denganku? Ah, mungkin di balik sikapnya yang seperti tak peduli itu, sebenarnya ia memiliki yayasan yatim piatu, yang secara rutin menolong kaum dhuafa. Kita toh tak boleh berpikiran negatif dan sinis, hanya karena melihat seseorang berpenampilan wah.

* * * * *

Setiap hari, setiap kali menempuh perjalanan entah dari mana, aku seperti melakukan Isra dan Mi’raj. Teringat penggalan pesan suci ilahi di ayat pertama surat Al-Israa’,
Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambaNya (Muhammad) pada malam hari dari Masjid Al-Haraam (di Makkah) ke Masjid Al-Aqsa (di Palestin), yang Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.(Surah Al-Israa’, Ayat 1)

Pointnya adalah pada penggalan kalimat
untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami
Tak pelak lagi, apa yang kulihat saat ini adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasanNya. Namun pertanyaan yang menyusul kemudian sungguh semakin menggelisahkan. Apa hikmah dari ini semua?

Jawabannya muncul secepat pertanyaannya. Dalam ayat lain, Allah telah mengingatkan,
Dia lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) - untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang yang bertaubat). (Surah Al-Mulk, Ayat 2)

Jadi, kira-kira maksud dari ayat ini adalah hendaknya setiap kita bertanya kepada dirinya masing-masing, apa hal terbaik yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini. Jika sepakat ini adalah situasi yang perlu diperbaiki, maka apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki situasi. Namun terkadang kita juga perlu berdamai dengan diri sendiri, karena boleh jadi kapasitas kita dalam berbuat tidak akan mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang ada.
Kemampuan, karunia atau pun rizki yang diterima setiap orang sangatlah bervariasi. Dengan demikian tanggung jawabnya pun berbeda-beda. Persoalannya adalah, dengan rizki dan karunia yang ia miliki, apakah ia memperolehnya dengan cara yang dibenarkan Allah, dan kemudian menyalurkannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri? Atau apakah ia hanyalah hamba dunia, yang mengejar dunia dengan segenap upaya, dan menikmati itu semua untuk diri sendiri dan para kroninya?

sumber: www.eramuslim.com

Monday, October 8, 2007

IKAN BILIH SEMALAM


Tidak terasa aku dapatkan lagi kesempatan untuk melanjutkan upaya penjelajahanku akan nusantara, dan aku memang bertekad untuk memulai langkah awal dari Sumatera barat, tempat mengayuh studi sekaligus menuai pengalaman hidup. Satu hal yang selalu membuatku merasa beruntung menjadi mahasiswa perantauan.

Kali ini aku berkesempatan mengunjungi seorang akhwat di daerah Singkarak. Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu mengenalnya, hanya mengenal lewat imajinasi dari tuturan cerita temanku satu kost serta sms-smsnya, dan kunjungan ini diawali oleh perkara teman sekostku itu. Namun aku tidak akan menceritakannya, karena ini bukan kisah tentang temanku tetapi ini adalah kisahku.

Perjalanan ke Singkarak memakan waktu kurang lebih dua setengah jam, namun dalam kondisi puasa jarak waktu seperti itu apalagi untuk perjalanan darat cukup sukses untuk membuat letih badan. Namun keletihanku agak sedikit terobati begitu tiba di kota Solok. Berkendara bendi atau delman aku menyusuri kota menuju pasar yang merupakan pusat kota, tampak dari sudut ke sudut kesibukan masyarakat menghadapi saat berbuka puasa sore nanti. Dari terminal dilanjutkan dengan menaiki kendaraan umum sejenis mikrolet dengan tujuan desa Singkarak.

Dalam perjalanan pemandangan mataku tertumbuk pada sisi jalan, tampak disana pemandangan yang tidak asing, sebuah bangunan pesantren yang sudah roboh plus satu sekolah darurat setengah berdiri, didirikan oleh LSM yg mengusung slogan “Keadilan Untuk Ummat”. Aku teringat pernah menghabiskan waktu selama beberapa hari disana sebagai relawan bencana gempa bumi, pengalaman yang tidak akan kulupakan dan mungkin hanya sekali seumur hidupku.

Kawasan tempat tinggal akhwat tersebut sangat sederhana, bahkan amat sangat sederhana. Kita akan menemukan begitu banyak rumah-rumah kayu sejenis rumah panggung dimana-mana, memang tidak keseluruhan, ada juga beberapa rumah keluarga lebih mampu berdinding beton berlantai keramik, yang menjadi simbol kemapanan secara ekonomi. Beberapa dari rumah- rumah panggung tersebut memiliki dwifungsi, selain sebagai rumah tinggal, bagian bawah rumah atau kolong digunakan untuk memelihara ternak-ternak kecil, berupa Ayam, Itik, ataupun Kambing, maka akan tercium aroma aneh sebagai pengganti pengharum ruangan. Bisa jadi pendapat masyarakat yang ada adalah “biarlah menahan hidung, asalkan demi ternak penyambung hidup”.

Daratan dipinggiran danau bagaikan lahan pengembangbiakan sampah, dari hari ke hari bukan berkurang justru bertambah, imajinasi konyolku bermain seolah-olah sampah yang satu menemukan pasangan hidupnya dan beranak pinak setiap 24 jam. Permasalahan yang tidak pernah selesai untuk kawasan-kawasan wisata. Padahal uniknya didanau itulah terdapat komunitas hidup bernama Bilih.

Bilih adalah nama ikan yang hidup di danau Singkarak, ukurannya sedikit lebih besar dari ikan teri hanya saja memiliki bentuk badan yang pipih dan lonjong. Tidak begitu jelas mengapa dinamakan Bilih, karena menurut bahasa minangkabau Bilih sendiri berarti iblis atau setan. Ikan bilih ini tidak dapat hidup selain di danau Singkarak yang merupakan habitatnya, kalaupun keberadaannya ditemukan di sungai-sungai kecil sekitarnya itu merupakan terusan dari danau. Bahkan salah seorang penduduk bercerita pernah suatu kali ilmuwan Amerika berkunjung dan membawa bibit Bilih ini ke negaranya untuk dikembangkan, namun hasilnya nihil, meski menggunakan teknologi dan peralatan canggih jenis apapun ikan Bilih tetap tak bisa hidup. Aku jadi mengambil kesimpulan mungkin karena keterikatan yang terlalu posesif dengan danau inilah maka dinamakan Bilih.

Selebihnya aku lebih banyak memperhatikan kehidupan keluarga nelayan dan pegunungan disekitar danau, sudut indah dalam pengambilan fragmen alam desa ini. Hingga waktu menjelang maghrib baru aku kembali kerumah panggung, setelah berbuka dan sholat maghrib keluarga akhwat temanku itu menghidangkan lauk Ikan Bilih plus sambal goreng, tidak disangka setelah seharian berkenalan dengan ikan tersebut ternyata malam ini aku justru bisa menikmatinya langsung. Hingga keesokan harinya aku kembali ke Padang tidak ada lagi rasa penasaran dengan ikan tersebut, karena memang sekarang dia telah bersemayam di tempat paling aman sedunia yaitu di dalam perut.

-kisah perjalanan yang selalu tertunda untuk diposting-

Wednesday, September 26, 2007

KOPI PAHIT UNTUK SEORANG TEMAN


And I don’t want the world to see me
Coz I don’t think that they understand
When everything made to be broken
I Just want you to know who I am
(Iris by Goo Goo Dolls)



Lirik lagu Iris yang dinyanyikan oleh group musik Inggris Goo Goo Dolls tersebut berdentum- dentum di kepalaku saat aku mengingat kembali moment pertemuanku dengan salah seorang teman yang kukenal melalui yahoo messenger. Namanya mengingatkan aku dengan salah seorang anak korban gempa di Sumbar beberapa waktu lalu. Nama yang singkat dan sederhana. Sesederhana kejutan-kejutan kecil yang dimunculkannya.
Perkenalan kami memang belum lama, semua berawal melalui chatting tapi cukup menorehkan kesan indah bagiku untuk selalu berbagi dengannya. Kedekatan yang terkadang kupikir timbul dari kebutuhanku akan figur seorang kakak.

Pernah suatu kali dia membuatku terenyuh, hanya karena sebuah pembicaraan di YM yang bahkan menurutku biasa saja, namun ternyata menimbulkan efek yang sangat berarti baginya. Bahkan dia mengabadikan rasa terima kasihnya padaku dalam bentuk postingan tulisan di salah satu mailing list. Sebuah kejadian dimana hal biasa yang kita lakukan ternyata menjadi akhir luar biasa bagi orang lain.

Di lain waktu dia mengusikku dengan bunyi ponsel ditengah malam sekedar untuk ber “say hello” dan melepas sunyi, yang sebenarnya mungkin tanpa dia sadari justru sangat menghiburku yang kesepian karena sedang mengerjakan pesanan souvenir semalam suntuk.

Kecocokan yang unik terjadi, karena kami sama sekali tidak pernah membicarakan tentang latar belakang keluarga ataupun hal-hal penting yang bersifat pribadi. Seringkali hanya pembicaraan ringan ataupun seputar organisasi yang kami geluti bersama. Sebagaimana Rosianna Silalahi mengatakan seolah ada spektrum karakter baru yang ditawarkan padanya saat berkenalan dengan presiden Iran Ahmadinejad, maka hal seperti itu jugalah yang kurasakan saat mengenalnya.

Agustus kemarin kami bertemu pertama kali, pertemuan kopi darat istilahnya. Dalam sebuah acara di Yogyakarta bulan Agustus lalu. Kebetulan aku sebagai peserta dalam acara tersebut, sedangkan dia memiliki tanggung jawab sebagai moderator di acara keakhwatannya. Tapi terkadang harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan, pertemuan yang seharusnya manis namun berubah pahit hanya karena kesulitanku untuk mengekspresikan rindu dan rasa bahagia bertemu dengannya. Sikapku terkesan kaku, hambar dan seolah menghindar, kontra dengan hati kecilku, aku seolah-olah telah memberikan secangkir kopi pahit padanya, dan aku tahu… diapun kecewa. Kekecewaan tersebut diungkapkan melalui pertemuan maya kami, dan aku hanya mendapatkan sesal meskipun semua itu tertutupi dengan kata maaf.

Namun sampai saat ini aku masih memegang harapan bahwa suatu saat dipertemuan kami selanjutnya aku dapat memberikan secangkir kopi yang manis atau bahkan… segelas Cappuccino untuknya.


For mbak Muthia :
Trims untuk coklat yg selalu terasa manis


Wednesday, August 1, 2007

SOSOK ITU BERNAMA ANDRE


Tadi malam saya membuka album-album foto saya, dan pandangan saya tertumbuk pada selembar foto berlatar belakang laut, terlihat empat orang sosok yang sedang tersenyum didalamnya. Dua diantaranya adalah saya dan seorang akhwat teman saya. Namun bukan hanya sekedar keberadaan foto itu saja yang mengusik pikiran saya, tetapi melihat salah satu sosok yang lain di foto itu membuat saya kembali teringat pada kenangan satu tahun yang lalu.


Saat itu saya merasa sekitar saya begitu “crowded”, apakah di kampus, di KAMMI, maupun ditempat kost. Biasanya saya akan menenangkan diri dengan berjalan-jalan sendirian kemanapun yang saya suka, mengunjungi teman-teman lama, dan mengunjungi tempat-tempat yang tidak pernah saya kunjungi. Dan pada hari itu saya memilih untuk berjalan-jalan sendirian ke tepi pantai padang, berusaha untuk kembali mentafakuri nikmat Allah SWT, meskipun sederhana.


Ketika saya sedang duduk dipinggir pantai, terdengar suara gen’jreng’an gitar parau dibelakang saya. Ternyata yang memainkan adalah seorang anak jalanan. Yang setelah kami berkenalan ternyata dia bernama Andre, seorang anak kelas 5 SD dan tinggal di ujung pantai tersebut. Pada akhirnya dia tidak hanya menyanyi di depan saya tetapi juga menghibur saya dengan cerita-cerita kehidupan pribadinya.


Seperti umumnya anak jalanan di kota padang ini, Andre pun masih tinggal bersama orangtua, hanya saja dengan latar belakang keluarga yang “broken home”. Setiap harinya setelah pulang sekolah dia akan ke jalanan sebagai pengamen dengan tujuan untuk mendapatkan uang, orangtuanya memang mendorongnya untuk ke jalanan mencari uang dengan cara seperti itu yang pada akhirnya nanti akan disetorkan kepada orangtuanya dan sebesar tiga ribu rupiah akan diberikan kepadanya setiap harinya, itu juga apabila ‘pekerjaan’nya menghasilkan. Kesan yang saya tangkap saat itu, orangtuanya berlepas tangan dari segala resiko yang bisa saja menimpa anaknya di jalanan.


Saya sendiri akhirnya menikmati sekali perkenalan dengan pria kecil itu, dibalik sikap dewasa yang ditunjukkannya meski tidak sesuai dengan usianya, namun tampak kepolosan tersembunyi, dan tidak dapat dipungkiri dia masih sangat menginginkan bagaimana rasanya bermain dan belajar lepas tanpa adanya tuntutan, yang sebenarnya sudah menjadi haknya. Saat itulah saya merasakan bahwa segala permasalahan-permasalahan saya yang awalnya terasa sangat berat namun menjadi ringan setelah saya mendengar bagaimana kerasnya kehidupan seorang anak bernama Andre. Membuat saya jadi teringat tentang tulisan yang ditujukan seorang sahabat kepada saya tentang bagaimana sebuah persoalan akan terasa ringan apabila kita mendengarkan dan berusaha memecahkan persoalan orang lain.


Selama beberapa hari saya selalu bertemu dia di tempat yang sama, kembali mendengarkan pengalamannya, bermain, ataupun mengajarkan dia lagu-lagu sebagai stock ngamen. Namun disayangkan ketika suatu hari kami berjanji untuk bertemu kembali, ternyata mendadak selama dua minggu penuh saya disibukkan dengan beberapa agenda penting, sehingga saya tidak bisa memenuhi janji saya.

Ketika saya kembali lagi ke tempat itu saya tidak pernah lagi menemukan sosok kecil itu, bahkan hingga saat ini. Sosok yang buat saya telah mengajarkan bagaimana menghargai kehidupan ditengah segala permasalahan dan keterbatasan.

Jazakallah ya ndre…tuk segala hikmah yang didapat

Ditengah bisingnya klakson bus kota, 1 Agustus 2007

RUANG TIGA KALI TIGA

Terkadang bagi mahasiswa tempat kost hanya dijadikan sebagai tempat pulang setelah usai kuliah di kampus atau tempat meletakkan barang-barang pribadi, karena notabene anak kost merupakan anak-anak perantauan atau jauh dari orangtua, apakah di dalam ataupun diluar provinsi tempatnya kuliah. Bahkan untuk seorang aktivis sekalipun bisa jadi memfungsikan kamar kost hanya sebagai tempat melepas lelah setelah seharian beraktivitas.

Namun berbeda halnya dengan saya saat mendeskripsikan fungsi tempat kost. Bagi saya sendiri tempat kost atau kamar kost dikhususkan sebagai ruang privacy, menjadi tempat untuk berkreativitas selain dari fungsi-fungsi yang saya sebutkan diatas. Mengapa demikian? Karena di ruangan yang berukuran 3 x 3 itulah saya bisa leluasa dan bebas untuk berkreativitas. Tidak perduli apakah banyak buku-buku, atau perkakas keterampilan berserakan hingga ke segala sudut kamar asalkan saya bisa leluasa bergerak dan menemukan segala sesuatu yang saya butuhkan dengan mudah sehingga kita bisa optimal untuk menghasilkan karya.

Banyak kretivitas yang bisa kita lakukan saat berada di “ruang 3x 3’ kita, apakah menulis, membuat gambar-gambar atau mendesign sesuatu yang kita sukai, atau membuat kerajinan tangan yang bisa dipasarkan untuk menambah uang saku kita.

Saya pernah mencermati umumnya apakah dia pelukis, ataupun juga penulis novel menjadikan kamarnya sebagai “ruang gerak” pribadi. Bahkan tidak jarang juga yang mendapatkan inspirasi untuk karya-karyanya di dalam kamar, walaupun inspirasi bisa saja didapatkan dimanapun dan kapanpun waktunya. Terkadang tanpa kita sangka-sangka sebuah karya besar bisa lahir dari ruangan sempit tersebut.

Lantas, akan timbul berbagai pertanyaan di benak kita, bagaimana dengan teman sekamar kita? Di sinilah letak bagaimana pola komunikasi kita dengan teman sekamar dikost dibangun, akan beruntung bagi yang menyewa kamar untuk sendiri tapi bagaimana dengan yang berbagi kamar dengan satu atau beberapa orang. Segala sesuatunya terletak pada bagaimana kita menyampaikan keinginan kita pada teman kita, apabila sang teman tidak menyukai kondisi kamar yang berantakan, kita tidak bisa juga memaksakan kehendak kita untuk membiarkan barang-barang berserakan, dan bagi kita yang kebetulan memiliki teman yang “ridho” dengan kondisi kamar yang bagaimanapun, kita juga tetap harus bertanggung jawab untuk menjaga kerapihan kamar. Sekelumit persoalan bisa saja muncul apabila kita bersikap acuh untuk pemasalahan-permasalahan yang kita anggap kecil atau sepele.

Jadi, bagi kita yang masih merasakan menjadi anak kost, bersiap-siaplah untuk mengoptimalkan fungsi kamar kost kita lebih dari yang biasanya.

Pasar Baru , 1 Agustus 2007


Self Esteem, Self Confidence, Pride

Nasihat dari seorang teman yang diposting ke e-mail saya :
Dua orang lelaki yang datang bertamu ke rumah seorang bijak tertegun keheranan. Mereka melihat si orang bijak sedang bekerja keras. Ia mengangkut air dalam ember kemudian menyikat lantai rumahnya. Keringatnya deras bercucuran. Menyaksikan keganjilan ini salah seorang lelaki ini bertanya, "Apakah yang sedang engkau lakukan hai orang bijak?
"Orang bijak menjawab, "Tadi aku kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat kepadaku. Aku memberikan banyak nasihat yang sangat bermanfaat bagi mereka. Merekapun tampak puas dan bahagia mendengar semua perkataanku. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba aku merasa menjadi orang yang hebat. Kesombonganku mulai bermunculan. Karena itu, aku melakukan pekerjaan ini untuk membunuh perasaan sombongku itu."
Para pembaca yang budiman, sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua yang benih-benihnya sering muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong sering disebabkan karena faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih cantik, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong sering disebabkan faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, lebih bijaksana dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong sering disebabkan faktor kebaikan. Kita seringkali menganggap diri kita lebih berakhlak, lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan ini, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi akan sangat mudah terlihat tetapi sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih yang halus di dalam hati kita.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Pada tataran yang wajar, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Namun, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Bahkan, seringkali batas antara bangga dan sombong tak terlalu jelas.
Diri kita sebenarnya terdiri atas dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan diri sejati di lain kutub. Pada saat dilahirkan ke dunia, kita sepenuhnya berada dalam kutub diri sejati, kita lahir dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Kita sama sekali bebas dari materi apapun. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai memiliki berbagai kebutuhan materi. Bahkan, lebih dari sekedar yang kita butuhkan dalam hidup, kelima indra kita selalu mengatakan bahwa kita membutuhkan yang lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup seringkali mengantarkan kita menuju kutub ego. Perjalanan inilah yang memperkenalkan kita kepada kesombongan, kerakusan, serta iri dan dengki. Ketiga sifat ini adalah akar segala permasalahan yang terjadi dalam sejarah umat manusia.
Perjuangan melawan kesombongan sebenarnya adalah perjuangan menarik diri kita ke kutub diri sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya ada dua perubahan paradigma yang perlu Anda lakukan. Pertama, Anda perlu menyadari bahwa hakikat manusia adalah diri sejati, kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual.
Diri sejati kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah syarat kita untuk hidup di dunia. Kita lahir tanpa membawa apa-apa, dan kita mati pun tanpa membawa apa-apa. Pandangan seperti ini akan membuat Anda melihat siapapun sebagai manusia yang sama. Anda tidak akan lagi tertipu oleh penampilan, kecantikan, dan segala "tampak luar" yang lain. Yang kini Anda lihat adalah "tampak dalam." Pandangan seperti ini sudah pasti akan menjauhkan Anda dari berbagai kesombongan.
Kedua, Anda perlu menyadari bahwa apapun perbuatan baik yang Anda lakukan, semuanya itu semata-mata adalah untuk diri Anda sendiri. Anda menolong orang untuk kebaikan Anda sendiri. Anda memberikan sesuatu kepada orang lain adalah untuk Anda sendiri.
Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi: Energi yang Anda berikan kepada dunia tak akan pernah hilang. Energi itu akan kembali kepada Anda dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang Anda lakukan pasti akan kembali kepada Anda dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, perasaan bermakna maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik pada orang lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apalagi yang harus kita sombongkan?[]

Wednesday, July 11, 2007

Trully, Madly, Deeply

Sepekan kemarin saya disibukkan dengan agenda keluar kota. Masih di wilayah Sumatera Barat namun mengingat kondisi geografis apabila dibandingkan dengan di pulau Jawa jaraknya bisa antar propinsi, karena memakan waktu 4 jam perjalanan, sedangkan untuk pulau Sumatera jarak 4 jam perjalanan bisa saja antar kabupaten. Perjalanan saya tepatnya ke kabupaten Solok, kecamatan Surian. Saya harus kesana karena memang ada permintaan untuk mengisi acara pesantren kilat SMUN 1 Pantai Cermin bersama beberapa rekan. Awalnya tentang nama "Pantai Cermin" ada pertanyaan dibenak saya,"mana pantainya?" karena kita tidak akan menemukan pantai disana, salah seorang teman saya menjelaskan bahwa ternyata letak pantai justru jauh dari Surian, namun terdapat di Pesisir selatan yang memakan waktu 4 jam perjalanan lagi, dinamakan pantai cermin karena masyarakat disana beranggapan bayangan pantai terletak di kecamatan Surian tersebut, sedangkan letak pantainya di Pesisir Selatan. Terkadang saya justru berfikir justru pemikiran yang aneh dan tidak logis yang berkembang di masyarakat daerah.

Perjalanan menuju ke lokasi tersebut cukup membuat mata "melek", karena kalau kita perhatikan dengan baik kita akan melihat kondisi alam yang sulit buat dilupakan. Melewati dua danau kembar yang dinamakan Danau Diatas dan Danau Dibawah. Dinamakan demikian karena memang letaknya yang bertingkat, namun apabila dilihat dari pinggir jalan lintas yang akan tampak hanya Danau Diatas, karena letak Danau Dibawah yang agak menjorok ke dalam dan berbeda dari Danau Diatas yang permukaannya tampak berwarna biru, Danau Dibawah permukaannya justru tampak berwarna hijau pekat yang menandakan bahwa dasar danau tersebut sangat dalam.

Lepas dari pinggiran Danau, yang kita lewati selanjutnya adalah kecamatan Alahan Panjang kabupaten Solok. Saya termasuk terkesan dengan daerah ini, mengapa demikian? karena daerah ini merupakan tempat kelahiran Mohammad Natsir(1908) yang juga merupakan tempat beliau dibesarkan dengan kehidupan yang penuh perjuangan hingga beliau bisa benar-benar tumbuh sebagai seorang tokoh Muslim Negarawan. Selain itu daerah ini juga memiliki tanah yang subur, dari pinggiran jalan kita akan melihat terhampar perkebunan teh, dan berbagai sayuran yang ditanam berjajar, dan saya pikir merupakan sumber daya alam yang cukup untuk mensejahterakan penduduknya. Keunikan lain juga bisa dilihat pada penduduknya, rata-rata orang-orang Alahan Panjang asli berkulit putih dengan wajah agak kemerahan pada pipinya apabila terkena sinar matahari. Hal ini bisa jadi memang disebabkan karena iklim daerah yang dingin.

Satu hal yang juga mengundang perhatian, banyak ditemukannya pertambangan disepanjang jalan menuju Surian. Perusahaan- perusahaan tambang yang ada sebagian besar merupakan perusahaan asing, dan miris rasanya melihat bahwa hasil bumi milik negara sendiri justru dikeruk oleh negara lain, padahal masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah lepas dari kemiskinan.

Pada akhirnya saya sampai di Surian, merupakan daerah yang dingin, asri, dan tidak padat dengan penduduk. Satu-satunya SMU yang berdiri adalah SMU Negeri 1 Pantai Cermin yang terletak dikaki bukit disekelilingnya terhampar perbukitan, dan disinilah saya menghabiskan waktu 3 hari dengan kegiatan pesantren kilat. Dibarengi dengan meninjau beberapa lokasi yang merupakan kesempatan yang tidak boleh saya sia-siakan.

Selepas dari Surian, saya melanjutkan ke daerah Bukit Tinggi untuk mengunjungi acara pernikahan seorang akhwat teman saya, pengalaman selama perjalanan akan saya tuliskan pada judul selanjutnya.

Sekat, 14 Juli 2007

Thursday, June 28, 2007

Simply Dedicated To My Mother

To my mother....
my mother.... and my mother......!
Could I order one small of pieces of land in heaven
beneath your foot?

I miss you mom.....

Rindu..., 28 Juni 2007

Wednesday, June 27, 2007

Seberkas Sinar Kelam

Penambahan tsaqofah siyasi menjadi hal yang penting bagi seorang kader siyasi. Banyak hal dan sarana bisa dimanfaatkan kader untuk menambah wawasan. Membaca, Menuls, dan Diskusi menjadi kunci utama. Melalui bacaan yang bertingkat dan terstruktur kader akan mudah mengukur wawasan karena berkembang seiring dengan tingkat acceptabilitasnya pada referensi. Untuk aplikasi sekaligus mengasah referensi bacaannya dilakukan melalui pertemuan pada kajian-kajian atau diskusi rutinan dan hasilnya dituliskan dalam bentuk opini.

Sangat disayangkan apabila seorang kader siyasi tidak mampu memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang bisa ditemuinya setiap saat yang sebenarnya kader hanya dituntut untuk "melek" dengan lingkungan dan kondisi kekinian disekitarnya, kondisi tersebut sangat kontras dengan label 'kader siyasi' yang melekat padanya karena bagaimana kemampuan siyasinya akan terasah apabila tidak pernah mengeluarkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk diskusi dengan orang lain serta kooperatif untuk menerima pemikiran-pemikiran orang lain yang penting untuk proses perkembangan pemikirannya.

Fenomena yang ada saat ini terutama disekeliling saya didapatkan justru menurunnya intensitas diskusi kader terutama menyangkut hal-hal yang berbobot dan menambah wawasan. Terkadang yang ada justru pembicaraan yang tidak berarti dan mengarah kepada ghibah, na'udzubillah min dzalik.

Sebenernya kenapa hal ini bisa terjadi?

1. Sikap 'cuek' dan acuh tak acuh sebagian besar kader pada program-program kerja penting yang menyangkut program pemenuhan tsaqofah.

2. Kurang aktifnya kader dalam meng-acces informasi dan berita-berita terbaru.

3. Kader yang tidak percaya diri untuk mengeluarkan pemkiran-pemikirannya dalam setiap forum diskusi.

4. Tidak adanya motivasi diri dan keinginan untuk terus mengembangkan diri, atau mungkin apakah justru kader merasa puas dengan keadaan diri sendiri?wallahu alam

Miris dan naas saat didapatkan pada acara-acara kajian dan diskusi sepi dari peserta, sebaliknya untuk acara-acara yang bentuknya jalan-jalan justru lebih diminati. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi evaluasi bagi saya saat sebuah acara yang diangkatkan dan diharapkan bisa menjadi seberkas sinar cerah dalam menyelesaikan problem organisasi dan keterbatasan wawasan kita, sebaliknya justru menjadi kelam karena ketidakhadiran personil-personilnya. Wallahu'alam bishawab


Kondisi blank, 27 juni 2007





Thursday, June 7, 2007

Berpolitik Dengan Landasan Ibadah

Sebagai Mahluk sang Khaliq sudah menjadi kerwajiban untuk beribadah,karena memang untuk itulah manusia diciptakan. Hal ini termaktub dalam Al-Qur'an Surat Adz-dzariyat ayat 56 yang artinya : "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku". Maka jelas bahwa kehidupan ini tidak bisa dipisah-pisahkan dari ibadah, serta menjadi satu kesatuan yang utuh. Tidak bisa terjadi parsialisasi menyangkut bagian-bagiannya.

Shalat, Puasa, Zakat yang dilakukan menjadi sia-sia bila tidak termanifestasikan dalam kehidupan dan kegiatan perpolitikan. Karena dengan shalat setiap Individu akan senantiasa dekat dengan Rabb-nya sehingga tercermin pada setiap kata-kata, tingkah laku, dan perbuatan. Begitu juga dengan Puasa dan Zakat yang dilakukan mengajarkan untuk melihat realitas masyarakat di sekitar dengan nurani yang mendorong untuk terus berbuat kebajikan dengan keikhlasan.

Yang menjadi Feedback dari moralitas pelaku politik ini adalah mampu menguatkan sendi-sendi ibadah masyarakat, karena perilaku yang ditonjolkan dari para pelaku politik merupakan perilaku yang tidak bertentangan dengan prinsip Ubudiyah. Diikuti dengan niat ikhlas Ibadah karena Allah SWT.



"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya" (An-Nisa;125)



Keyakinan bahwa setiap perjuangan akan digantikan dengan kenikmatan pahala dan Syurga-Nya kelak akan menjadi motivasi pribadi dalam melakukan aktivitas politik, sehingga yang terfikir hanyalah bagaimana berbuat yang terbaik untuk kemaslahatan masyarakat secara umum serta umat secara khusus. Hanya untuk Allah kita persembahkan tenaga, waktu, pikiran, harta, dan segala kesungguhan, dengan tujuan agar tegak Islam di muka bumi.

Maka jadilah insan-insan perpolitikan yang bisa mempersembahkan yang terbaik untuk Allah SWT dan kejayaan Islam dengan berbekal takwa, karena Allah SWT tidak memandang posisi kita sebagai apa dalam bidang sosial dan politik akan tetapi lebih pada ketakwaan dan keikhlasan dalam menegakkan kebenaran. Wallahu'alam bishawab.

Saturday, May 19, 2007

Nasihat Seorang Misterius

Beberapa hari ini saya dikejutkan dengan sms-sms misterius dari seseorang tanpa nama, inisial, atau apapun yang berkaitan dengan identitas, hanya nomor asing yang bisa jadi "free number". Tapi sebenarnya bukan hal itu yang penting buat saya, tapi isi di dalam sms tersebut yang membuat saya tertohok. Nasihat-nasihat yang pedas dan sangat menghujam dalam, awalnya saya sakit hati tapi setelah saya mencoba merenungi lagi tidak patut rasanya apabila saya marah atau kecewa, bukankah dia mencoba mengingatkan saya? Pikiran-pikiran negatif yang muncul justru akan membuat kita tidak bisa berfikir bijak dan cenderung mengedepankan emosi. Biarpun orang yang memberikan sms tersebut dengan cara atau bahasa yang tidak baik, namun hal itu merupakan usaha dia untuk mengingatkan kita bagaimanapun caranya. Saya mencoba berfikir bahwa ini adalah pelajaran buat saya menerima kekurangan orang lain dalam berkomunikasi sekaligus mengajari saya untuk lebih baik dalam berkomunikasi dengan orang lain. Siapapun orang tersebut mudah-mudahan ini justru menjadi proses pendewasaan bagi saya. Dan juga buat dia yang telah mengirim sms, mudah-mudahan Allah SWT memudahkan urusannya dimanapun dia berada.